- Back to Home »
- Batik Solo »
- Sejarah Batik Solo
Posted by : ilhamalifu
Kamis, 23 Mei 2013
Sejarah batik Solo tidak terlepas dari pengaruh Keraton.
Batik Solo bermula pada masa Kerajaan Pajang lebih dari 4 abad yang lalu.
Seperti diketahui, kerajaan yang merupakan kelanjutan dari dinasti Demak
tersebut memindahkan pemerintahannya dari Demak Bintoro ke Pajang.
Peran Dinasti Pajang
Seperti ditulis di kampoenglaweyan.com, Kyai Ageng Henis adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan batik di desa Laweyan yang saat itu masuk ke wilayah kerajaan Pajang. Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Selo yang juga keturunan Brawijaya V. Beliau bermukim di desa Laweyan sejak tahun 1546 M.
Ki Ageng Henis yang dikenal dengan Ki Ageng Laweyan merupakan “manggala pinatuwaning nagari” semasa Jaka Tingkir masih menjadi Adipati Pajang. Beliau adalah kakek dari Danang Sutawijaya yang menjadi pendiri kerajaan Mataram .
Desa Laweyan yang terletak di tepi Sungai Laweyan ini, dulunya adalah pusat perdagangan Lawe (bahan baku tenun). Bahan baku kapas dipasok dari daerah Juwiring, Pedan dan Gawok. Proses distribusi barang di Pasar Lawe dilakukan melalui bandar Kabanaran yang tak jauh dari Pasar Lawe. Dulu terdapat banyak Bandar di tepi sungai, seperti Bandar Kabanaran, dan Bandar Laweyan. Melalui Bandar inilah yang menghubungkan Desa Laweyan menuju Sungai Bengawan Solo. Dari sinilah, batik terhubung dengan daerah pesisir.
Batik Solo Era Keraton Surakarta
Dari perintah itu masyarakat berlomba-lomba untuk membuat
corak batik. Muncul banyak motif batik yang berkembang di masyarakat. PB III
pun mengeluarkan peraturan tentang kain batik yang boleh dipakai di dalam
keraton. Ada beberapa motif tertentu yang diizinkan untuk dipakai di lingkungan
keraton.
Batik Solo Awal Abad XX
Pada awal abad XX, batik menjadi salah satu identitas perekonomian
masyarakat Jawa. Pada masa ini, batik telah memasuki era industrialisasi dan
terbentuknya kelompok-kelompok para pedagang. Salah satu organisasi yang
terkenal adalah Sarekat Dagang Islam yang dipelopori oleh KH Samanhudi. Beliau
memiliki jaringan dagang yang kuat hingga ke Kudus, Surabaya, Gresik, Tuban,
Cirebon, Bogor hingga ke Batavia dan luar Jawa. Salah satu distributornya
adalah HOS Cokroaminoto yang menjadi tokoh dalam organisasi Sarekat Dagang Islam.
Berdirinya SDI dilatarbelakangi persaingan dagang antara orang-orang Cina dan Belanda. Organisasi ini menunjukkan eksistensi masyarakat pribumi Jawa Islam di tengah kekuasaan colonial Belanda. Sekaligus mempertahankan eksistensi batik yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat Jawa. Pada akhirnya SDI menjadi salah satu organisasi perintis kemerdekaan Indonesia.
Peran Dinasti Pajang
Seperti ditulis di kampoenglaweyan.com, Kyai Ageng Henis adalah tokoh yang pertama kali memperkenalkan batik di desa Laweyan yang saat itu masuk ke wilayah kerajaan Pajang. Ki Ageng Henis adalah putra Ki Ageng Selo yang juga keturunan Brawijaya V. Beliau bermukim di desa Laweyan sejak tahun 1546 M.
Ki Ageng Henis yang dikenal dengan Ki Ageng Laweyan merupakan “manggala pinatuwaning nagari” semasa Jaka Tingkir masih menjadi Adipati Pajang. Beliau adalah kakek dari Danang Sutawijaya yang menjadi pendiri kerajaan Mataram .
Desa Laweyan yang terletak di tepi Sungai Laweyan ini, dulunya adalah pusat perdagangan Lawe (bahan baku tenun). Bahan baku kapas dipasok dari daerah Juwiring, Pedan dan Gawok. Proses distribusi barang di Pasar Lawe dilakukan melalui bandar Kabanaran yang tak jauh dari Pasar Lawe. Dulu terdapat banyak Bandar di tepi sungai, seperti Bandar Kabanaran, dan Bandar Laweyan. Melalui Bandar inilah yang menghubungkan Desa Laweyan menuju Sungai Bengawan Solo. Dari sinilah, batik terhubung dengan daerah pesisir.
Batik Solo Era Keraton Surakarta
Berdirinya Keraton Surakarta tahun 1745 turut mewarnai
perkembangan Batik Surakarta. Berawal dari perpecahan Keraton Surakarta dan
Ngayogyakarta sebagai akibat dari perjanjian Giyanti tahun 1755. Seluruh busana
kebesaran Mataram dibawa ke Keraton Yogyakarta. Sementara itu, PB III
memerintahkan kepada para abdi dalem untuk membuat sendiri motif batik Gagrak
Surakarta.
“Ana dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganingsun,
bathik sawat, bathik parang lan bathik cemukiran kang calacap modang, bangun
tulak, lenga teleng lan tumpal, apa dene bathik cemukiran kang calacap
lung-lungan, kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan sentananingsun dene
kawulaningsun pada wedhia.”
Adapun jenis kain batik yang saya larang, batik sawat, batik
parang dan batik cemukiran yang berujung seperti paruh burung podang, bagun
tulak, minyak teleng serta berujud tumpal dan juga batik cemukiran yang
berujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya izinkan
memakainya adalah patih dan para kerabat saya. Sedangkan para kawula (rakyat)
tidak diperkenankan.
Para abdi dalem bertugas untuk merancang batik yang
diperuntukkan bagi kepentingan keraton. Mereka banyak yang tinggal di luar
keraton, sehingga terbentuklah komunitas perajin batik seperti di Kratonan,
Kusumodiningratan, Kauman maupun Pasar Kliwon. Bahan yang digunakan serta
pewarnaan masih tetap memakai bahan lokal seperti soga Jawa.
Batik Solo Awal Abad XX
Berdirinya SDI dilatarbelakangi persaingan dagang antara orang-orang Cina dan Belanda. Organisasi ini menunjukkan eksistensi masyarakat pribumi Jawa Islam di tengah kekuasaan colonial Belanda. Sekaligus mempertahankan eksistensi batik yang menjadi salah satu pilar ekonomi masyarakat Jawa. Pada akhirnya SDI menjadi salah satu organisasi perintis kemerdekaan Indonesia.
Hingga sekarang Batik Laweyan Solo tetap ada. Para pengusaha
Laweyan pernah mencapai kejayaan pada era 1970-an.
Kini, Pemerintah Surakarta dua kampung batik di kota Solo,
yakni kampong batik Laweyan dan kampung batik Kauman, yang terletak di belakang
Masjid Agung Surakarta. Salah satu pusat perdagangan batik yang terkenal adalah
Pasar Klewer.
Diberdayakan oleh Blogger.
mas saya ijin copas ya..buat artikel di FB
BalasHapusterima kasih banyak sebelum & sesudahnya
silahkan mas
BalasHapusartikel yang bagus gan , mantab
BalasHapusToko Tenun Ikat